Kamis, 03 Juni 2021

Kisah Guru di Aceh Saksi Konflik GAM. Dari Baiat, hingga ART Pasukan Inong Balee.

 



                        Sherien Haris Boenien – 28 Mei 2021, 15.36 WIB


 Ibu Ina Syafriani, S.Pd. (49) ketika diwawancarai terkait pengalamannya  menjadi saksi 
sejarah perlawanan GAM di Aceh tahun 1998.

 

 

 

Newsable.id, Aceh – konflik pemberontakan GAM di tanah Serambi Makkah menyisakan kenangan pelik di hati masyarakat Aceh. Salah satunya Ibu Ina Syafriani, seorang guru yang menjadi saksi atas kekisruhan tanah rencong pada saat itu, dan kini telah menjadi balutan sejarah.

Terbentuknya GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dimulai pada tahun 1976 setelah kepulangan seorang diplomat luar negeri asal Aceh bernama Hasan Tiro. Beliau memproklamirkan secara sepihak bahwa Aceh telah merdeka dan dirinya sebagai wali nanggroe (Presiden atau perdana mentri). Selain Hasan Tiro, banyak petinggi asal Aceh di luar negeri yang ikut beraksi meminta pengakuan negara lain bahkan PBB demi mengasingkan Aceh dari Indonesia. Pemberontakan GAM dilatar belakangi oleh oknum yang merasa Indonesia memperlakukan Aceh dengan tidak adil terkait hasil bumi Aceh yang dirampas namun Aceh tidak mendapatkan kompensasi yang adil. Pemberontakan tersebut akhirnya pecah di seluruh wilayah Aceh. Pemerintah mengirimkan pasukan TNI, sehingga terjadilah pertumpahan darah bak medan perang. Masyarakat Aceh diselimuti rasa takut dan suasana mencekam, suara ledakan kontak senjata dan pembakaran telah menjadi hal lumrah. Seperti pada pengalaman seorang guru di Aceh, Ibu Ina Syafriani, yang menjadi saksi peristiwa pada saat itu.

Kisah itu terjadi pada tahun 1998, Ibu Ina merupakan guru pelajaran bahasa inggris asal Banda Aceh yang pada saat itu berumur 26 tahun berstatus ibu satu anak. Ibu Ina ditugaskan di SMPN 4 di daerah Teunom, Aceh Jaya, selama 3 tahun. Penugasan tersebut dalam rangka pengangkatan PNS pertama sebagai guru. Beliau ditemani oleh beberapa guru lainnya, mereka terdiri dari delapan orang guru pendatang. “Nama sekolahnya SMPN 4 Teunom, satu angkatan satu kelas. Satu kelas 25 siswa. Sementara gurunya ada 2 orang guru dari penduduk setempat, dan ada 8 orang pendatang. Asalnya ada yang dari Meulaboh, Banda Aceh, Pidie. Bahkan luar Aceh, dari Padang dan Jogja,” ujar Ibu Ina.

Perjalanan dari Banda Aceh ke Teunom memakan waktu selama 5 jam dengan menempuh perjalanan darat menggunakan angkutan umum mini bus. Ketika dalam perjalanan masih terbilang aman terkendali, tidak terlihat kontak senjata antara pasukan GAM dan TNI, atau bahkan tidak terjadi penahanan yang dilakukan oleh pasukan GAM. “Saya pergi dari pagi dan sampai sana udah siang, jadi masih aman. Mungkin kalo malam bisa jadi ada kejadian seperti itu,” pungkasnya. 

Ibu Ina dan dua temannya tinggal di rumah kontrak yang berada di depan SMPN 4 Teunom, desa Teupin Asan. Selama di Teunom, menurutnya suasana di sana cukup mencekam berbeda dengan di kota. Pasukan GAM merupakan masyarakat setempat banyak dijumpai dan sering terdengar suara kontak senjata. “GAM bertebaran tapi tidak dengan TNI, masyarakat setempat rata-rata GAM. posko TNI gak nampak kalo di kampung. Kantor pusat TNI di Peunayong, Banda Aceh. Kantor GAM gak ada, dia cuma main di hutan dan daerah pelosok.”

Selama di Teunom, Ibu Ina sempat mengalami pengalaman tak terlupakan. Dimulai dari sekolah tempatnya mengajar hangus terbakar, namun hanya sebagian. Syukurnya, sekolah masih layak fungsi meskipun bangunan tua. “Cerita menarik ketika setahun di sana. Pagi mau ke sekolah, gedung sekolah sudah setengah hangus dibakar, namun masih layak digunakan. Gak jelas siapa yang bakar, dibakarnya malam. Dari kejadian itu untungnya gak ada korban. Padahal gedung usang, sekolah lama. Tapi bekas dibakar tidak pernah diperbaiki” kata Ibu Ina.

Pengalaman menarik lainnya yang pernah dialami oleh Ibu Ina ketika “pembaiatan” rakyat Aceh. Baiat merupakan sumpah dan mengabdi atas sesuatu, begitu pula ketika masa konflik GAM. Cerita bermula ketika Ibu Ina dan dua temannya telah tertidur pulas pada malam itu. Namun sekitar pukul 23.00 lebih, terdengar gedoran dari luar yang ternyata mereka adalah tiga pemuda desa tersebut. “yang ketok dikenal karena orang kampung situ, anak lajang tiga orang. Katanya semua orang kampung sudah berkumpul di rumah Teungku (pemuka agama di suatu desa di Aceh), tinggal kami yang belum. Jadi disuruh ikut ke sana dan nanti diantar pulang lagi.” Mereka berjalan kaki ke rumah Teungku yang tidak seberapa jauh dengan rumah kontrakan tersebut. Sesampainya di tempat tujuan, terlihat warga desa telah berkumpul. Teungku dan pasukan GAM menyuruh mereka untuk mendengarkan apa yang dikatakan Teungku. “Teungku menjelek – jelekkan pemerintahan Gusdur pada saat itu. Dan terakhir, kami semua dibaiat. Isi sumpah baiatnya pakai bahasa Aceh. Baiat itu kurang lebih berisi suruhan untuk setia kepada GAM dan melawan pemerintah Indonesia.” Jelas Ibu Ina. Setelah dibaiat kurang lebih 30 menit, mereka diantar pulang kembali oleh ketiga pemuda sebelumnya.

 

 

    

     Pasukan Inong Balee  merupakan panglima GAM wanita. Diangkat dari masyarakat setempat dengan 
kriteria wanita belum menikah hingga janda.  (sumber: Twitter @arbainrambey)

 

Cerita menarik lainnya dari pengalaman Ibu Ina sendiri ialah ketika beliau telah kembali ke kota sekitar tahun 2001, dan langsung ditugaskan di SMAN 4 Banda Aceh. Pada saat itu Ibu Ina telah melahirkan anak ke dua, sehingga membutuhkan asisten rumah tangga untuk membantu pekerjaan rumah dan merawat bayi perempuannya. Beliau mencari ART dan akhirnya direkomendasikan oleh temannya. ART tersebut bernama Ani, seorang wanita muda yang belum menikah. “Ani kerja sampai 10 bulan, setelah itu dia minta resign tanpa alasan.” Namun betapa terkejutnya Ibu Ina dan suami ketika mengetahui ternyata Ani merupakan salah satu pasukan Inong Balee yang merupakan pasukan GAM wanita, beliau mengetahui hal itu ketika Ani sudah tidak lagi bekerja. Informasi tersebut diperoleh dari Almh. Jamaliah, ART dari rumah sebelah. “Selama di rumah, Ani kerjanya biasa aja, bagus dan gak ada gelagat aneh. Tapi  dia gak mau diajak pergi jauh. Maunya yang dekat aja atau bahkan gak mau keluar rumah sama sekali,” ungkap Ibu Ina.

Ada cerita menarik lainnya mengenai Ani, saat ia mengajak Ibu Ina dan keluarga untuk pergi ke rumahnya di desa Ujong Pancu, Aceh Besar. Hal tersebut dalam rangka maulid nabi yang menjadi tradisi di Aceh dengan digelarnya acara makan bersama. “yang bersangkutan bilang jangan lama-lama, di daerah sana gak aman, “ kejadian itu terjadi ketika Ibu Ina dan suami belum mengetahui bahwa Ani merupakan panglima Inong Balee. Menurutnya Ani meminta untuk cepat pulang agar tidak ketahuan dengan pasukan Inong Balee lainnya, karena pada saat itu ia sedang dicari.

Hingga kini masih berbekas dalam benak Ibu Ina atas pengalaman tak terlupakannya pada masa konflik GAM. Aceh sekarang jauh lebih aman dan damai, tidak lagi terdengar kabar orang yang dijemput pada malam hari namun tak kembali, wanita yang dirudapaksa dan disiksa oleh TNI, dan masih banyak lagi. 

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kisah Guru di Aceh Saksi Konflik GAM. Dari Baiat, hingga ART Pasukan Inong Balee.

                                 Sherien Haris Boenien – 28 Mei 2021, 15.36 WIB   Ibu Ina Syafriani, S.Pd. (49) ketika diwawancarai terkait ...